Sunday, March 23, 2014

Saat Kau Mampu Untuk Berontak..

Hai, kawan..
Aku tau kau begitu tersiksa
Aku tau betapa irinya kau ketika melihat sosok keluarga yang utuh
Aku tau begitu merindunya kau akan beberapa sosok

Hai, kawan..
Aku tau dibalik senyum mu yang riang sebenarnya tersimpan derita
Bahkan aku tak habis pikir membayangkannya
Kau selalu terlihat baik-baik saja
Padahal hati mu menjerit

Jangan kau pikir aku hanya sok tau
Jangan kau pikir aku ini tak mengerti
Jangan kau pikir aku ini hanyalah orang yang hebat berbicara
Aku katakan sekali lagi, jangan kau berpikir seperti itu..

Kau tidak perlu tau darimana aku tau semua ini
Kau tidak perlu tau bagaimana aku bisa benar-benar memahaminya

Aku tak tau sampai kapan kau akan merasakan kepahitan ini
Karena aku bukanlah Tuhan yang tau segalanya
Bahkan aku pun tak tau apa sebenarnya maksud Ia menguji mu seperti ini
Tapi yang ku tau..
Ia tidak akan menguji mu dengan sesuatu yang di luar batas kemampuan mu
Dan satu hal yang ku tau..
Seburuk apapun pengalaman pahit atau kekecewaan yang pernah kau alami
Hal itu bukanlah alasan untuk menghancurkan diri mu sendiri

Hidup mu ada di tangan mu, kawan!
Hidup mu bukan di tangan orang lain
Termasuk orang-orang yang telah membuat mu kecewa
Kau harus tetap menjadi orang baik
Karena kebaikan dan keburukan yang kau lakukan
Tak lain adalah untuk diri mu sendiri
Bagaimana pun keadaan mu
Hidup ini harus terus berlanjut..

Monday, March 10, 2014

Ketika Dihadapkan pada Pilihan Karir



Udah lama kepengen banget nulis tentang tulisan yang mau saya tulis ini. Mungkin sejak beberapa bulan lalu. Tapi, biasalah.. lagi-lagi berbagai kesibukan lain yang membuatnya tertahan, bahkan saya udah lupa mau nulis tentang ini. Tiba-tiba aja semalem saya jadi keinget lagi gara-gara ngobrol sama salah seorang adik saya di masa kuliah yang luar biasa menggemaskan.. hahhaa. Saya sering bilang adik-adik saya itu menggemaskan karena mereka adalah makhluk yang sangat-sangat menggemaskan dengan sejuta keunikannya yang membuat hidup saya berwarna-warni. Entah, tanpa mereka kayaknya hidup saya bakal biasa-biasa aja. Bersyukur banget Allah mempertemukan saya dengan mereka. Kali ini adik saya itu bernama Rizky Oktavia Aftriandy.. ^_^

Ok, singkat cerita, semalem saya niat pamit mau tidur di tengah-tengah percakapan kita melalui chat FB karena waktu telah menunjukkan pukul 22.21 WIB, “Ki, tidur yuk!”. “Teteh duluan ajaa.. aku masih baca novel biar nggak stres besok”. “Widiiihh.. masih aja kamu doyan novel-novelan. Emang kalo nggak baca novel stres, ki?”. “Iya, teh. Pikiran sumpek.. kalo kaga komik ya novel. Apa lagi penghilang stres nya kiki? Selain itu, dengan baca novel kita jadi punya semacam harapan, teh. Barangkali memang hidup kita bisa seperti novel. Terus kita jadi mikirin jalan cerita di novel, jadi nggak kepikiran masalah hidup. Itung-itung pelarian sementara sebelum menghadapi perang lah, teh.. heheh”. Wah, ternyata dia belum berubah sedikit pun, tetep doyan baca novel dan berkhayal-khayal tentang cerita yang ada di dalemnya. Deuuhh.. Kio.. Kio..

Terus saya bilang deh, “Coba sekali-kali kamu nulis, Ki. Nulis itu penghilang stres yang luar biasa loh!”. Lucunya dia malah jawab, “Iya, teh. Sebenarnya aku pengen sih jadi penulis novel aja. Tapi nggak sesuai sama cita-cita dan lagu hymne IM Telkom yang nyuruh kita jadi manajer”.. hahahaa ada-ada aja. Nih saya kasih potongan lirik hymne kampus tercinta, IM Telkom  yang sekarang udah jadi Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Telkom.

“Cita mulia hasrat menggapai bintang
Semangat karya yang penuh makna juang
Wujudkan bakti membangun nusa bangsa
Persada makmur sejaht’ra bahagia

Dengan tridarma pedoman nan hakiki
Penerang jalan menempa diri pribadi
Menjadi insan manajer handal mandiri
Sanggup menata dunia usaha negeri”

Di situ emang disinggung-singgung tentang jadi manajer karena background IM Telkom sendiri sejak awal didirikan emang berbasis manajemen bisnis.. hahhaaa. Nah, gara-gara percakapan ini saya malah jadi cerita panjang kali lebar plus diskusi deh sama dia sampai dini hari.

Ok, cukup pendahuluannya ya. Bisa-bisa tambah panjang kalo nyeritain kekocakan percakapan saya sama adik saya yang satu itu.. he. Jadi, kali ini tuh saya mau cerita tentang impian besar saya. Mungkin ini akan sedikit terdengar lebay atau ekstrem bagi yang jarang mendengarnya karena jujur waktu saya pertama kali mendengarnya pun saya merasa agak sedikit aneh.

Waktu saya SMA, ada salah seorang guru yang nanya ke saya nanti kalau sudah besar saya mau jadi apa? Dengan polosnya ya saya bilang kalau saya mau jadi karyawan di suatu perusahaan ternama atau menjadi seorang pengusaha sukses. Kemudian beliau bilang bahwa pekerjaan terbaik seorang perempuan itu adalah seorang ibu rumah tangga dan beliau kagum kalau ada perempuan yang bercita-cita menjadi seorang ibu rumah tangga. Wow?! Si gw langsung kaget dong. Meski saya nggak menyangkal kalau jadi ibu rumah tangga itu adalah suatu pekerjaan yang mulia. Tapi, kalau itu dijadikan sebuah cita-cita apa nggak lebay yah?? Ya, itulah pemikiran saya waktu itu. Apalagi yang ditanamkan dalam keluarga saya itu kalau besar nanti harus sukses.. sukses.. Melihat orangtua saya yang sibuk berkarir di dunia kantoran ditambah mainstream yang sudah berkembang di Indonesia saat ini bahwa yang namanya sukses itu seolah hanya jadi karyawan sebuah perusahaan, otomatis saya yang notabene masih dalam pencarian jati diri pun beranggapan bahwa kelak saya harus jadi wanita karir. Saya nggak mikir mau laki-laki, mau perempuan, pokoknya kudu' berkarirlah.

Setelah ditelaah kembali, mainstream yang berkembang itu sebenarnya merupakan hasil dari didikan feminisme yang menganggap wanita modern harus lebih mirip laki-laki, bahwa bila wanita tidak bekerja maka wanita akan direndahkan. Feminisme menjadikan materi sebagai standar sukses. Wajar bila mereka merasa dunia tidak adil karena materi jadi penanda sukses. Feminisme sukses mendidik wanita melihat kesuksesan sebagai sosok yang punya penghasilan tinggi, gelar seabrek, mobil mewah, buka aurat, dll. Menurut pandangan feminis, ibu rumah tangga itu adalah bentuk perendahan martabat perempuan, tidak modern, perbudakan terhadap wanita" (Ust. Felix).

Saat saya masuk di dunia perkuliahan, saya pun beberapa kali berdiskusi dengan sahabat-sahabat saya. Dari diskusi tersebut ada yang mengatakan berdasarkan nasihat yang pernah didapatkannya bahwa seorang perempuan tidak akan bisa sukses di kedua-duanya (ibu rumah tangga dan karir). Dengan kata lain, harus ada satu yang dikorbankan jika ingin mencapai kesuksesan pada salah satunya. Saat seorang perempuan sukses dalam berkarir, maka ia tidak akan sukses sebagai ibu rumah tangga. Pasti ia tidak bisa secara totalitas dalam hal mengurus keluarga, terlebih lagi dalam mendidik dan mengetahui perkembangan anak-anaknya. Dan jika seorang perempuan ingin sukses sebagai ibu rumah tangga yang selalu ada, mengikuti perkembangan, mendidik, dan memberikan perhatian penuh untuk anak-anak maupun suami, maka ia harus mengorbankan karirnya.

Hati saya bergejolak hebat saat mendengar kalimat itu. “Hei.. hei.. No, I’m totally disagree with that!!”, saya berkata dalam hati saya. Rasanya saya belum bisa menerimanya. Gimana nggak, wong karir itu adalah impian besar saya. Masa tiba-tiba saya harus mengurungkan impian saya itu?! No.. No.. Pada tahap itu saya banyak memberikan pembenaran-pembenaran bahwa bisa koq balance dua-duanya selama blablabla.

Suatu waktu, saya memiliki waktu lebih untuk merenung dan berpikir secara mendalam. Lebih pentingnya lagi adalah untuk bisa berkata jujur pada diri sendiri, bukan terus-menerus hanya mencari pembenaran, melainkan menemukan sebuah kebenaran. Saya merenung menganalisis mulai dari hubungan internal dalam keluarga saya sendiri, kemudian beralih kepada contoh-contoh real dari keluarga-keluarga terdekat (om, tante, sahabat, sampai ustadz/ ustadzah). Perenungan itu dikuatkan pula dengan musibah yang sempat menimpa keluarga saya. Dari perenungan itu saya menemukan bahwa terdapat perbedaan yang jelas. Sejak saat itu, barulah saya mempunyai impian, I Want to be a True Housewife. Selain jadi ibu rumah tangga, saya bisa terus produktif menjadi penulis. Nulis-nulis di blog, berbagi apapun yang bisa bermanfaat. Syukur-sukur dikasih kemampuan dan rezeki bisa bikin buku.. Aamiiin.

Kenapa jadi ibu rumah tangga? Karena sebagai orangtua (kelak) kita harus menyadari bahwa kita nggak bisa maksain pemikiran ke anak kalau mereka harus ngerti bahwa orangtuanya itu sibuk banting tulang nyari duit juga karena sayang, demi kesejahteraan si anak. Udah nggak bisa dipungkirilah kalo yang namanya kasih sayang orangtua itu unlimited. Tapi pernah nggak denger ungkapan gini, "Niat aja tuh nggak cukup, tapi harus ada aplikasinya". Nah, sama juga halnya dengan kasih sayang. Yang dibutuhkan seorang anak itu bukan cuma "rasa" yang dirasakan sama orang tuanya aja. Anak itu butuh aplikasinya yang mereka rasakan sebagai hubungan personal. Makanya, baiknya mah biarkan suami yang sibuk banting tulang, sebagai perempuan kita yang memperhatikan, mendidik, dan mengarahkan anak. Kalau bukan kita, terus siapa?? Itu kan anak kita, bukan anak pembantu.. Tapi suami juga bukan berarti lepas tangan gitu aja. Ibu emang nomor satu dalam hal mengurus anak, tapi ayah juga harus ikut ambil andil biar tetep punya hubungan personal dengan si anak. Setidaknya anak merasakan adanya kehadiran sosok seorang ayah, bukan sosok pemberi uang semata.

Berhubung mainstream yang berkembang bahwa ibu rumah tangga seakan pekerjaan yang nggak berharga, mungkin sering kita dengar, “Sayanglah sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya koq cuma jadi ibu rumah tangga?!”. Hahhaa.. lo pikir ngedidik anak nggak pake ilmu? Dengan kuliah itu melatih/mengembangkan pola pikir kita. Kenapa perusahaan lebih suka ngambil lulusan S1 buat dijadiin staf? Karena pola pikir lulusan S1 memang berbeda dengan lulusan SMK atau D3. Bukan maksud untuk mendeskriminasikan, tapi kenyataannya memang seperti itu. Pendidikan antara SMA, SMK, D3, S1, S2, S3 itu punya tujuan yang berbeda-beda, sehingga pola pendidikan yang diberikan pun berbeda. Sebagai contohnya, pendidikan pada program D3 lebih ditekankan pada praktek, sementara pendidikan pada program S1 ditekankan pada analisis teori dan kasus. So, pola pikir yang terbentuk dari lulusannya pun akan berbeda. Nah, pola pikir yang kita punya itu bakal ngaruh dong sama cara kita ngedidik anak. Jadi semakin tinggi pendidikan yang kita punya harusnya semakin bangga buat jadi ibu rumah tangga karena makin banyak bekal imu yang bisa kita manfaatkan untuk membina keluarga.

Terus ilmu akademiknya buat apa?? Hoho.. banyak. Contohnya saya adalah lulusan manajemen bisnis. Emang di keluarga itu nggak butuh perencanaan keuangan? Ilmu logistik buat persediaan kebutuhan keluarga? Kemampuan komunikasi buat interaksi sama suami dan anak? Perencanaan jangka panjang? Leadership buat ngebimbing anak? Kemampuan analisis harga? dsb. Perlu kan? Ilmu itu ada semua tuh di program manajemen bisnis yang udah saya dapet. Jadi, nggak akan ada yang sia-sia koq dari apa yang udah kita pelajari selama apa yang kita niatkan itu baik. Pasti akan selalu bermanfaat kalau kita mau terus mengusahakannya.  So, masih bilang kuliah tinggi-tinggi itu sia-sia kalau cuma jadi ibu rumah tangga? Justru keren ibu rumah tangga yang punya pendidikan tinggi. Itu namanya Ibu rumah tangga cerdas. Wong ilmunya juga buat keluarga sendiri koq sia-sia tuh gimana??

Terus berkaitan dengan mainstream tadi, mungkin ada yang setuju 100% dengan pemikiran saya ini, tapi pasti ada juga yang kurang setuju. Oleh karena itu disini saya ngasih pilihan pekerjaan yang bisa dijadikan sebagai alternatif. Sebelumnya saya sempet bekerja kantoran di salah satu provider telekomunikasi ternama. Pergi pagi pulang malam. Dari situ saya mikir, waduh kalau hari-hari saya kayak gini paling bisa ketemu anak cuma Sabtu-Minggu doang. Gimana mau deket sama anak? Apalagi saya juga punya pengalaman pribadi yang udah merasakan hal seperti itu. Saya berpikir sepertinya kerja kantoran kurang cucok buat perempuan yang mau mendedikasikan dirinya buat keluarga. Akhirnya ada beberapa jenis pekerjaan yang saya rasa bisa dijadikan pilihan, yaitu entrepreneur, guru, dan PNS. Tapi tetap ibu rumah tangga is the best. Sebisa mungkin harus diusahakan bahwa peran kita adalah sebagai fulltime-mother.

Kenapa bisnis? Karena kalau kita punya bisnis sendiri kan aturannya kita yang buat sendiri, bisa lebih fleksibel. Setidaknya pagi-pagi bisa bercengkrama dulu sama anak terus nganterin sekolah. Abis itu baru mulai operasional. Anak pulang sekolah bisnisnya bisa dijalanin sama orang (pekerja kita). Laporannya besok pas ketemu lagi untuk memulai hari. Atau bisa juga selang-seling sehari full jagain usaha, sehari full di rumah. Pokoknya bebas buat ngatur jadwal sendiri. Selain itu, dengan bisnis kita bisa ngasih manfaat dengan membuka lapangan pekerjaan buat orang lain. Kerennya lagi, otak cemerlang dan energi yang kita korbankan itu kita gunakan untuk membangun bisnis milik kita, bukan bisnis orang lain layaknya kita bekerja jadi pegawai kantoran. Lebih yahud lagi nih kalau bisnisnya itu bisa bareng suami. Ahh.. so sweet.. so beautiful.. Kalo ini bener-bener impian gw banget. Mungkin salah satu alasan saya belum juga mulai berbisnis karena Allah maunya saya punya partner hidup dulu kali yah #ehh #gagalfokus

Jadi inget dulu pernah bilang gini ke temen saya (e'el), "El, aku pengen banget deh punya suami orang entrepreneur. Dengan begitu kan jadi punya pilihan terbaik buat ngejadiin partner bisnis". Terus dia bilang, "Bukan pekerjaannya kali ya, syif. Tapi, semangatnya. Bisa jadi sekarang dia juga lagi kayak kamu, punya semangat buat entrepreneur, belum punya usaha, tapi nungguin seseorang juga buat dijadiin partner". Ahhaa.. bisa jadi.. bisa jadi..

Terus kenapa guru? Karena dengan jadi guru kita bisa menyebarkan ilmu yang udah jelas bermanfaat buat sekitar. The true teacher itu bukan hanya yang bisa mengajarkan tentang ilmu akademik, melainkan juga tentang ilmu kehidupan. Dengan jadi guru kita juga bisa menggunakan otak kita setiap hari untuk berpikir (baca materi sebelum ngajar, menilai tugas-tugas murid, memperhatikan presentasi dari murid, diskusi kasus, dll), dengan kata lain kita bisa melatih otak kita sehingga nggak tumpul. Saya pribadi seneng banget yang namanya berbagi, saya pengen menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Penghasilan jadi guru juga lumayan, load pekerjaannya juga nggak terlalu berat dan monoton kayak di kantor-kantor yang kerjaanya banyak dan kayak robot gitu-gitu terus. Jadinya masih banyak sisa energi yang bisa digunakan untuk mencurahkan perhatian buat suami dan anak tercinta.

Kalau PNS itu karena jam kerjanya cuma sampai jam 3 sore. Walau cuma beda 2 jam sama jam kantor pada umumnya, tapi itu bisa ngaruh banyak karena jam segitu jalanan belum terlalu macet. Sampai rumah lebih awal, masih punya lebih banyak energi. Kalau pulang jam 5 sore, pada akhirnya malah bisa selisih 4 jam karena harus berkutat dengan macetnya jalanan. Udah capek di kantor, tambah lagi capek di jalan, sampai rumah energi habis. Mau merhatiin anak juga udah nggak maksimal. Ujung-ujungnya paling cuma nanya aja ke orang di rumah "Gimana si adek? Tadi ngapain aja?" dll. Abis itu udah..

Wah, ternyata panjang juga ya. Saya nggak nyangka kalau bakal sepanjang ini tulisannya. Sebenernya ini cuma banyolan saya tentang impian saya sih. Kenyataannya mah pasti bakal disesuaikan dengan kondisi yang nanti saya alami. Tapi, boleh kan kalau saya bermimpi. Karena pada kenyataannya pun, justru banyak orang yang untuk sekedar bermimpi saja mereka tidak berani, seperti saya di dahulu kala. Siapa tau dengan impian saya ini prinsip dari law of attraction itu bekerja. Bermimpilah sambil tetap upgrading diri dan biarkan Allah yang menghimpun serpihan mimpi-mimpi kita dengan cara-Nya. Syukur-syukur lagi ada yang ngedo’ain dan mengaminkan agar impian saya ini untuk terwujud.. Aamiiin. Semoga tulisan ini bermanfaat.


Baca juga: Wahai Perempuan! Kunci VMJ Itu Ada Pada Mu..

Sunday, March 09, 2014

Antara yang Muda dan yang Lebih Tua

Pagi ini saya jogging bersama adik perempuan tersayang. Ceritanya dia mau latihan biar staminanya bagus kalau ambil nilai atletik. Setelah jalan beberapa meter dari rumah saya ajak dia mulai berlari, "Dek, lari yukk!" dan dia pun langsung berlari penuh dengan semangat dan langkah yang besar.. swing.. swing..

Saya sampe kaget dan kemudian mencoba mengarahkan, "Dek, kalau jogging jangan cepet-cepet biar staminanya ke-manage. Apalagi baru awal-awal. Kalo jogging beda tekniknya sama sprint".

Tapi yang terjadi adalah dia tetap berlari penuh semangat seakan menunjukkan kekuatannya dan nggak akan kenapa-kenapa. Padahal sebelumnya pun kita nggak pemanasan dulu waktu masih di rumah. Tiba-tiba nggak jauh dari tempat start kita berlari kecepatannya menurun dan bahkan tertinggal. Mukanya terlihat begitu kelelahan dan ia berjalan agak pincang. "Tuh kan udah langsung capek", saya menghampiri dia. Ternyata selain kelelahan, kaki kirinya mengalami salah urat. Berhubung saya nggak mungkin ninggalin dia, alhasil kita jalan deh sampai tempat tujuan.

Cerita ini mengingatkan saya tentang realita kehidupan antara kaum muda dan tua. Darah muda itu darah yang penuh semangat bahkan berapi-api. Saking semangatnya terkadang membuat langkahnya begitu terburu-buru, kurang pertimbangan, dan lebih banyak maunya. Ekstremnya, sampai ada pemikiran bahwa "Apa sih itu para pemuda banyak maunya, padahal tau apa mereka?! Kondisi sebenernya di lapangan kan mereka nggak tau". Ya, karena mereka memang belum banyak pengalaman. So, mereka memang butuh diarahkan. Bukan dikekang loh ya, tapi diarahkan. Sementara yang lebih tua sudah merasakan lebih banyak manis-asam garam melangkah penuh dengan kehati-hatian. Saking hati-hatinya terkadang malah membuatnya takut untuk menentukan langkah baru alias berinovasi. Dikit-dikit bilang nggak bisa, dikit-dikit bilang nggak bisa. Maunya yang lurus-lurus aja lah pokonya mah.

Seringkali nasihat-nasihat dari yang lebih tua itu dianggap old fashion oleh yang muda karena terlalu banyak ini-itu. Padahal, mereka yang lebih tua memberikan arahan/nasihat pun tidak sembarangan, melainkan berdasarkan pengalaman yang pernah mereka alami. Alhasil, tidak jarang kesalahan yang dikhawatirkan oleh mereka yang lebih tua pun dilakukan oleh si muda. Tapi tulisan ini bukan untuk memojokkan kaum muda loh ya karena saya pun masih muda koq..hehe (maksa, nyadar umur woii)

Para pemuda yang seringkali melakukan kesalahan, bukan berarti tidak ada yang bisa dicontoh dari diri mereka. Nyatanya semangat dan keberanian mereka untuk melangkah/mencoba hal baru adalah hal yang patut kita contoh dari para kaum muda. Saat yang tua merasa takut dengan segala kemungkinan kegagalan dengan sejuta pertimbangan, banyak hal baru yang justru muncul dari karya-karya para pemuda. Para pemuda itu semangatnya seakan merasa nggak takut mati. Masa-masa muda adalah masanya berkarya. Justru kesalahan yang dilakukan pada masa mudalah yang akan menjadi bekal berharga untuk kehidupan kita selanjutnya. Kayaknya rugi deh kalau waktu muda kita nggak pernah merasakan banyak kegagalan, karena itu berarti kita nggak mencoba banyak hal.. he. Sayang banget, Kawan. Jadi, kalau masih muda tapi hidup biasa-biasa aja kayaknya perlu dipertanyakan deh. Come on, Guys! Masa muda tuh jangan cuma belajar di sekolah/kampus terus pulang ke rumah. Isilah dengan kegiatan pelatihan-pelatihan, seminar, keorganisasian, atau sesuatu yang banyak memberikan manfaat, baik untuk diri sendiri maupun sekitar. Isi apa aja yang penting positif. Karena hal-hal seperti itulah yang akan membangun karakter. Kenapa? Karena di sekolah/kampus kita cuma belajar tentang ilmu pasti istilah kerennya itu hardskill. Sementara kegiatan keorganisasian, dsb. akan memberi kita pelajaran tentang softskill. Pemuda itu staminanya lebih kuat ketimbang yang lebih tua, lebih bugar. Sayang kalau energi yang banyak itu nggak kepake.

Tapi saya juga kurang setuju kalau para pemuda itu berkarya semaunya tanpa memperhatikan aturan/norma/etika yang berlaku dan kemudian meneriakkan, "Jangan batasi kami, biarkan kami berkarya!". Hello.. Kita ini hidup bukan di tanah milik pribadi, Kawan. Menurut saya aturan/norma/etika itu tetap harus dijunjung tinggi sebagai manusia yang berbudaya, terlebih lagi sebagai seorang muslim yang harus menjunjung tinggi akhlaqul karimah.

Sebagai pemuda, pikirkanlah saran yang diberikan oleh yang lebih tua dan hendaknya bisa mengontrol semangat yang dimiliki, jangan sampai terlepas tak terkendali layaknya kuda liar yang dilepaskan di tengah hutan. Jika tidak dikendalikan, maka semangat yang tak terkendali itu akan berubah menjadi amunisi berbahaya, yaitu hawa nafsu. Tidak ada hawa nafsu yang membawa kebaikan karena hawa nafsu hanya membawa kita pada kerusakan. Selama yang digunakan itu adalah hawa nafsu, saya yakin 100% hati dan akal pikiran kita akan mati.

Sementara itu, tugas yang lebih tua adalah selalu mengarahkan dan mendampingi mereka yang lebih muda. Tidak membiarkan mereka berjalan di depan tanpa arahan apalagi meninggalkan mereka di belakang. Kekhawatiran akan kesalahan yang dilakukan oleh para pemuda adalah hal yang wajar. Tapi janganlah kekhawatiran itu terlalu berlebihan yang justru malah mengekang mereka untuk berkarya. Bisa-bisa nanti setelah beres kuliah malah bingung mau ngapain, nggak tau dunia nyata itu kayak apa. Wong selama sekolah/kuliah taunya cuma belajar doang.. hehhee.

Saya pribadi termasuk orang yang banyak dikekang oleh orangtua (bukan curhat, hanya berbagi). Kalau dilihat dari niat orangtua saya sih memang bagus. Mereka nggak mau saya dibebani dengan pikiran-pikiran lain selain belajar, biar fokus. Tapi setelah beres kuliah pun saya malah merasa agak menyesal karena banyak hal-hal yang nggak saya lakukan. Saya ngerasa, "Ahh.. kenapa saya dulu nggak melakukan ini.. kenapa saya nggak melakukan itu..?". Meski dulu waktu kuliah, saya aktif berorganisasi di LDK. Tapi itu aja nggak cukup ternyata.. he.